Oleh Rubiakto. ABSTRAK. Indonesia telah menjadi rumah baru untuk teater, dari awal perintisan teater modern hingga banyak berkembangnya teater tradisional Indonesia. Wajah Indonesia dikemas dalam berbagai macam pertunjukan teater di Indonesia, masyarakat teater Indonesia menjadikan wadah untuk melukiskan keadaan bangsa dengan seni pertunjukan.
tengahbangsanya, dalam khazanah cerita rakyat betawi terdapat sebuah cerita yang terkenal yaitu nyai dasima ketenaran cerita ini dapat dibuktikan dengan kemunculan dalam berbagai bentuk prosa novel bacaan anak anak puisi syair pantun drama komedie stamboel miss riboet film dan sinetron , sinopsis cerita film diambil dari sebuah buku karangan g
Tokohnaturalisme yang sangat penting adalah Emile Zola (1840-1902), ia mengatakan: “ Bukan drama, tetapi kehidupan yang harus disajikan pada penonton”. Terdapat enam prinsip dalam pelatihan aktor Stanilavsky yaitu : 1. Aktor harus memiliki fisik prima, fleksibel dan vokal yang terlatih agar dapat memainkan berbagai peran. 2.
Vay Tiền Nhanh. Seni rupa kontemporer merupakan sosok nan selalu menjadi sorotan kontroversi masyarakat. Sungguhpun sederhananya seni masa kini adalah seni masa kini nan tengah mengalami proses perkembangan, tetapi representasinya tak sesederhana itu. Wujud dari ide dan wacananyalah yang selalu menimbulkan kontroversi. Seni kontemporer tidak sesederhana seni klasik yang sudah lalu mapan dan congah puas puncak kreasi tertinggi pada suatu masyarakat. Seni mutakhir itu radikal, sulit dipahami tambahan pula tidak invalid publik yang dibuat gerah karenanya. Maka bermula itu subjek ini lewat terdepan cak bagi dipahami seharusnya kita dapat mengikutinya atau bahkan mematahkan idenya. Signifikasi Seni Rupa Kontemporer Pengertian seni rupa masa kini berarti seni rupa yang diciptakan tertarik pada beraneka rupa konteks ruang dan waktu yang menudungi seniman, audiens dan medannya. Istilah kontemporer sendiri berasal terbit Bahasa Inggris “contemporary” yang berarti apa-apa ataupun mereka yang atma lega masa yang bersamaan D. Maryanto, 2000. Artinya Seni rupa masa kini bersifat kekinian karena diciptakan di periode yang masih bersamaan dengan kita dan dunia seni secara umum. Meskipun sejenis itu istilah “seni rupa masa kini” tidak dapat diterjemahkan serupa itu saja seumpama seni masa kini seperti yang dijelaskan di atas. Istilah seni rupa kontemporer di marcapada masih menimbulkan perdebatan. Terutama karena enggak ada ciri khusus nan dominan dan dapat dirujuk bagi menunjuk sreg suatu praktik atau rang seni nan baku. Hal itu sangat wajar karena bentuk seni rupa ini sendiri masih n domestik tahap perkembangan, bahkan berkembang dengan kita baik perumpamaan seniman, kritikus maupun sekadar sekedar penikmat. Polemik Istilah Seni Rupa Masa kini Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, seni kontemporer sampai momen ini masih menjadi perdebatan, lain namun dalam praktik wacana seni rupa sekadar, tapi sekali lagi di manjapada seni secara mahajana, baik itu seni irama, tari, dsb. Secara garis osean, polemik nan hingga kini masih terjadi dapat dipilah menjadi dua perspektif utama, yakni sebagai berikut. Pertama, secara leksikal istilah berasal Bahasa Inggris “Contemporary” terikat dengan waktu, ialah “musim kini” yang jelas mengandung masalah. Sebab masa lalu pula detik musim masa ini belum muncul yaitu masa kini Sumartono, 2000, hlm. 23. Temporal sense masa saat ini maupun semasa dengan masyarakatnya menimbulkan persoalan, sebab “semasa” dapat mengacu pada perian yang luwes, misalnya sepanjang waktu yang dilalui makanya seniman maupun beberapa musim belakangan ini, atau satu sepuluh tahun? Irianto, 2000, hlm. 75. Kedua, Ada yang memaknai bahwa istilah seni rupa kontemporer itu lebih dikatikan dengan eksistensi wujud karya seni nan representasinya berbeda dari cara-prinsip seni maju maupun seni klasik nan telah mapan. Seperti yang disampaikan oleh Arthur Danto dalam bukunya The End of Art 1995, hlm. 10 sebagai berikut. “Contemporary” in its most obvious sense means simply what is happening now contemporary art would be the art produced by our contemporaries… But as the history of art has internally evolved, contemporary has come to mean an art produced within a certain structure of production never, I think, seen before in the entire history of art. So just as modern’ has come to denote a style and even a period, and not just recent art, contemporary art’ has come to designate something more than simply the art of present moment. Pemaknaan istilah kontemporer yang tercalit dengan persoalan representasinya ini pun cakupannya silam luas. Pengertian yang beredar luas di umum koteng menganggap bahwa seni rupa kontemporer berarti seni rupa bertamadun dan seni rupa alternatif. Misalnya seperti Instalasi, happening art, performance art, video art dan video mapping yang berkembang di mutakhir. Dengan demikian, riuk satu pemaknaan yang boleh disimpulkan buat mendefinisikan seni masa kini adalah berbagai fenomena dan karya seni nan diciptakan maka dari itu seniman di masa nan terikat dengan berbagai konteks nan menyelubunginya sama dengan hal dan berbagai hal serta fenomena di zaman beliau hidup yang representasinya menumpu berlainan dengan seni klasik dan bertamadun waktu-waktu sebelumnya. Sejarah Seni Rupa Kontemporer Pemahaman mengenai seni rupa kontemporer juga bisa kita dapatkan dengan bercermin sreg rekaman seni. Terutama, sejarah seni rupa mutakhir sendiri. Lamun terukur plonco, tetapi kita sudah boleh melacak kemunculannya pecah zaman modern. Di Barat, referensi seni rupa kontemporer dimulai dengan menunjukkan plong berakhirnya era modernisme dalam seni rupa maju art. Sebab-sebab terjadinya ketegangan itu di antaranya adalah penciptaan karya seni rupa yang menjadi terlalu mudah. Setiap kecondongan dari sebuah karya yang baru namun diciptakan seolah-olah sudah ada sebelumnya. Kritikus seni Harold Rosenberg menyebut fenomena tersebut dengan istilah de javu dalam Bahasa Perancis yang bermanfaat “kombinasi dilihat” Sumartono, 2000, hlm. 22. Maka berakhirlah periodisasi seni rupa modern nan mutakadim tidak relevan pula dengan berjenis-jenis karya mentah yang tercipta pada masa itu. Berakhirnya era seni rupa maju memunculkan kebutuhan cak bagi terminologi baru. Munculah istilah post modernism masa setelah modern sebagai penggantinya. Kemudian istilah itu dipakai kerumahtanggaan praktik seni rupa di Barat yakni karya seni nan berkecenderungan dengan masa postmodern setelah zaman modern. Hanya penggunaan istilah postmodern ternyata mengandung persoalan. Hal itu karena kompleksitas dan diversitas konotasi yang dibawanya. Lega akhirnya istilah yang makin banyak digunakan adalah seni rupa kontemporer. Seni rupa masa kini dapat dikatakan sebagai referensi dalam praktik seni rupa di Barat nan praktiknya menunjuk kepada tren periode postmodern. Kecenderungan tersebut secara tidak langsung menyiratkan wacana dalam seni rupa yang inkompatibel modern. Hal itu disebabkan karena keseleo satu paradigma kemunculan posmodern adalah pola yang menolak modernisme. Aturan-aturan bertamadun yang ditolak diantaranya yaitu usia universalisme n domestik budaya, kolektivitas, membelakangi tali peranti, menganjurkan teknologi dan individualitas I. M. Pirous, 2000. Dominasi Barat akan seni juga sudah terhitung banyak disadari waktu ini, bahkan bikin masyarakat Barat seorang. Maka dari itu karena itu, seni mutakhir sekali lagi biasanya diiringi makanya perlawanan terhadap budaya Barat, termasuk oleh hamba allah Barat seorang, seperti bagaimana sebagian teoretikus Barat juga kini memilih untuk berfilosofi secara ketimur-timuran. Intern perjalanannya, adat-sifat maju dianggap mengesampingkan berbagai produk kesenian non-Barat yang dianggap lebih rendah bersumber seni modern karena berperangai tradisional. Resan itulah yang ditentang oleh para seniman postmodern. Karena sifat-sifat modern dianggap tidak memufakati karya seni rupa tradisonal yang dihasilkan oleh satu budaya komunal bak karya seni rupa nan sebabat dengan karya seni rupa bertamadun. Ciri dan Adat Seni Rupa Masa kini Berikut adalah beberapa ciri seni rupa masa kini yang bisa kita pastikan bagi tentatif perian ini. Tidak adanya sekat antara berbagai disiplin seni dengan meleburnya batas-had antara seni lukis, reca, kriya, teater, nada,dan sebagainya Sebaliknya Isu-isu nan diwacanakan yakni kesetaraan antara etnis dan gender, HAM, lingkungan sukma, poin tradisi dan persatuan macam yang enggak Memiliki gairah moralistik yang brerkaitan dengan dimensi sosial dan politik umpama tesis. Karena sifatnya yang masih radikal dan kontroversional, seni mutakhir menentang diminati media massa kerjakan dijadikan komoditas pewacanaan ibarat aktualitas berita dengan issue terkini dan fashionable Mengutamakan variasi media seni baru seperti instalasi, performance art, video dan sebagainya. Tidak mendiskriminasi dan menerima karya populer andai wujud seni Ciri kontemporer dalam pustaka seni rupa dikukuhkan dengan semangat pluralisme macam. Berorientasi bebas tetapi menghilangkan batasan-batasan dogmatis halal dalam dunia seni rupa. Internal seni rupa kontemporer batasan medium dan dikotomi seni seperti mana “seni lukis”, “seni patung” dan “seni grafis” nyaris diabaikan. Aklimatisasi bebas dan medium nan bukan terbatas memunculkan karya-karya dengan alat angkut-media non konvensional. Hal itu menimbulkan perspektif mentah tentang keanggunan seni, serta kian kesatria menunggangi konteks sosial, ekonomi serta politik Sumartono, 2000. Meskipun ada pemaknaan idiosinkratis dan ciri dalam wacana seni rupa kontemporer seperti telah disebutkan di atas, fungsi leksikal masa kini yang menunjukkan konteks kekinian lain dapat diabaikan. Berdasarkan konteks hari kini, seni rupa kontemporer dipandang sebagai karya seni yang ide dan pembahasannya dibentuk serta dipengaruhi sekaligus merefleksikan kondisi yang mencelup keadaan zaman ini panggung “budaya global” menyeruak, yang menebarkan banyak yuridiksi dan menjadi penyebab berbagai perubahan dan jalan Sumartono, 2000. Pada risikonya seni rupa kontemporer adalah pustaka yang masih dalam tahap urut-urutan dan belum punya ciri atau ide yang boleh dibakukan. Transendental Seni Rupa Kontemporer Jika kita membedahnya berlandaskan jenis maupun ragam nan sebetulnya ditolak pula oleh seni kontemporer, maka kita bisa menemui bilang wahana baru yang sayang digunakan oleh para seniman masa kini, meliputi Seni Instalasi, Happening Art, Performance Art, Video Art, Video Mapping. Seni Instalasi Seni Instalasi merupakan karya seni rupa yang dibuat dengan menggabungkan berbagai media baik dua dimensi maupun tiga dimensi dan bukan kurang pada pengelompokan jenis seni rupa seni lukis, patung, dll sehingga menciptakan menjadikan wahdah mentah. Karya seni ini pula rata-rata menawarkan interaktivitas bagi tamu pameran, misalnya pengunjung boleh menggambar pendapatnya puas kanvas alias sesederhana petandang boleh menekan tombol untuk menggerakan sesuatu. Interaktivitas tersebut menimbulkan dialog sekaligus, sehingga memberikan perspektif dan skor tidak yang selama ini kurang mendapatkan sorotan dari seni yang sudah mapan sebelumnya seni klasik. contoh seni kontemporer, seni instalasi “forest of numbers” oleh emmanuelle moureaux. Penejelasan lebih contoh mengenai Seni Instalasi dapat diperoleh melalui link dibawah ini Baca sekali lagi Seni Instalasi & Pengertian, Sejarah, Kategori Konseptual Happening Art Happening Art adalah persilangan antara pameran seni rupa dan pertunjukan teatrikal. Rata-rata bentuk seni ini menghindari pendayagunaan unsur-elemen teater tradisional, seperti alur cerita, kepribadian pemain dan adegan. Meskipun begitu tema dan naskah ki ajek dibuat sreg karya ini, hanya saja di dalamnya lebih banyak terjadi monolog. Performance Art Banyak masyarakat bahkan limbung seniman koteng sering keliru mengasingkan antara Performance Art dan Happening Art. Performance art memang mirip dengan happening art, merupakan gabungan seni pertunjukan dan seni rupa, hanya investigasi representasinya teguh menjurus sreg aspek visual. Performance Art lain membutuhkan dialog atau monolog adakalanya. Contoh seni rupa kontemporer Performances art Freak on a leash. Video Art Sebetulnya media seni ini enggak begitu hijau, saja kemunculannya bertambah banyak di era waktu kini’ yang mengacu pada tahun 1970-an hingga masa ini sedikitnya hingga saat artikel ini ditulis. Intinya Video Art menyampaikan gambar bergerak plong cucur monitor. Video Mapping Video Mapping sekurang-kurangnya menggabungkan dua jenis seni rupa yang salah satunya adalah Video Art nan disorotkan menggunakan proyektor pada diversifikasi seni lainnya. Berbagai aspek visual puas video nan disorotkan disesuaikan di mapping/dipetakan dengan spesies seni bukan seperti arsitektur, instalasi bahkan ke seni tari dan pertunjukan. Pemetaan antara video dan jenis karya lainnya tersebut memasrahkan nuansa dan perspektif plonco bagi dunia seni rupa dan seni secara publik. Konklusi Seni masa kini hingga kini masih menunjukkan wacana seni bentrok modernisme yang mengagungkan pluralisme. Namun ironisnya enggak mau menunggangi jenis atau media seni yang dianggap preskriptif dan terlalu universal. Sehingga seniman memilih menggunakan medium non konvensional, mengarah bebas, tak terikat plong konvensi-konvensi nan baku. Meniadakan dikotomi/pengkotakan serta makin berani sampai ke permasalahan sosial, ekonomi, dan politik. Persoalan sosial, ekonomi dan politik ini diwarnai dengan keadaan zaman di mana budaya global banyak memberikan pengaruh yang cepat terhadap persilihan dan perkembangan sosial dan budaya seluruh masyarakat bumi. Jadi, apa dan seperti segala apa seni masa kini itu? Berkacalah ke dunia hari ini dan beberapa dekade ke belakang. Seandainya kita melakukannya, maka semakin jelas bahwa seni telah dipengaruhi atau dipaksa untuk timbrung berselisih dengan berbagai momen besar bumi menutupi internet, kemudahan dalam mendapatkan kabar menerimakan distrupsi megah terhadap semua sektor industri tercatat seni; semakin berkembangnya teknologi digital nan kini menginjak semakin mencapai dunia nyata dan tidak hanya terserah di dunia lelembut, ialah revolusi industri pergolakan independensi berpendapat dan pilihan gaya nyawa tiba berasal otonomi beragama, kesetaraan gender, kemunduran demokrasi beraneka macam kelemahannya semakin muncul ke rataan, dsb. Semua itu sudah lalu memaksa seni menghadapi putaran baru di zaman nan serba cepat dan transformatif ini. Semuanya dapat tiba-tiba berubah baik kerumahtanggaan segi postitif dan negatif. Bahkan, bisa makara sebenarnya kita sedang mengalami kematian kedua semenjak seni sekali lagi. Dapat disimpulkan bahwa seni rupa masa kini adalah seni nan sedang dalam tahap kronologi dan bereksplorasi minus henti berdasarkan konteks yang semenjana terjadi di masa sekarang, momen ini, ruang temporal ini, beserta heterogen ramalan atau prakiraan perian depan dan tentunya masih melibatkan dominasi masa terlampau yang dapat kaprikornus diangkat ulang dalam dialektika yang enggak pernah usai. Bacaan Representasi Pagar adat dan Nilai Budaya Lokal dalam Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta. Sumartono. 2000. Peran Dominasi intern Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta, dalam Outlet Yogya kerumahtanggaan Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Yogyakarta Yayasan Seni Cemeti. Irianto, Asmudjo Jono. 2000. Konteks Tradisi dan Sosial Politik dalam Seni Rupa Mutakhir Yogyakarta Era 90-an, dalam Outlet Yogya dalam Seni Rupa Mutakhir Indonesia. Yogyakarta Yayasan Seni Cemeti.
Perkembangan teater nontradisional di Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai berikut. 1 Periode Opera Abdul Muluk Mengapa dikatakan periode Abdul Muluk? Karena pada zaman ini terdapat sebuah opera yang bernama Opera Abdul Muluk. Opera Abdul Muluk ini berisi cerita, pantun, dan syair berbahasa Melayu. Periode ini tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Bahkan, opera ini dapat dikatakan mati. 2 Periode Pembenihan Pertama 1891 Seperti halnya periode sebelumnya, periode ini ditandai dengan adanya sebuah teater yang berbentuk orkes stambul. Orkes ini merupakan sebuah pertunjukan yang berbentuk opera atau drama musik. Cerita yang dibawa-kannya berupa kisah atau hikayat yang berasal dari Persia, seperti Seribu Satu Malam, Ali Baba, dan Abu Nawas. Selain cerita dari Persia, terkadang orkes stambul ini membawakan kisah dari Eropa dan India. Meskipun mengambil cerita atau kisah dari luar negeri, ceritanya telah disesuaikan dengan keadaan atau realitas sehingga ceritanya sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia. 3 Periode Pembenihan 1926 Periode pembenihan ditandai dengan adanya film Eropa yang masuk ke Indonesia. Para seniman Indonesia menyalurkan kreativitasnya dengan cara mengadopsi cerita dari luar Nusantara. Salah satu bentuk pertunjukan dalam periode ini adalah Dardanella yang dipimpin oleh Andjar Asmara. Dardanella ini merupakan sebuah sandiwara opera dalam bahasa Melayu-Tionghoa. Periode ini dapat dikatakan sebagai titik tolak kemajuan teater Nusantara karena sudah menggunakan cerita dalam bentuk struktur lakon. Cerita yang sering dipertunjukkan dalam periode ini yaitu cerita yang berbentuk roman. 4 Periode Pembangkitan 1926-1942 Tentunya kamu sudah tahu bahwa pada masa ini rasa nasionalisme sangat tinggi. Nah, dari kesadaran nasionalisme ini lahirlah cerita yang bertema kepahlawanan dan romantik-idealistis. Kreativitas para seniman pun bermunculan. Hal ini terbukti dari menjamurnya kelompok kecil sandiwara di seluruh Nusantara. Selain itu, ceritanya disusun sendiri dalam bentuk lakon. Tokoh yang terkenal pada periode ini adalah Rustam Efendi dan Sanusi Pane. 5 Periode Pembangunan 1942-1945 Tidak berbeda jauh dengan masa sebelumnya, rasa nasionalisme melekat dalam periode ini. Waktu itu, arena pertunjukan menjadi wadah pergerakan kemerdekaan. Mengapa pada masa periode ini tumbuh subur teater? Karena masa penjajahan Jepang dibuka seluas-luasnya kegiatan yang menyangkut kebudayaan. Teater yang sangat berpengaruh ketika itu adalah Mayo. Tokoh teater pada masa ini adalah Usmar Ismail, Idrus, dan El Hakim. Cerita yang melekat dalam periode ini adalah romantisme perjuangan. 6 Periode Awal Perkembangan 1945-1960 Sebagai kelanjutan dari periode sebelumnya, pada masa ini bermunculan seniman yang berkonsentrasi dalam teater. Ketika itu banyak tokoh yang sangat terkenal, di antaranya Utuy Tatang Sontani, Motinggo Busye, Kirjomulyo, Nasjah Djamin, dan B. Sularto. Cerita dalam periode ini mengangkat tema romantik-realistis yang diperkaya dengan lakon-lakon daerah yang diolah kembali. 7 Periode Produktif 1955-1965 Sesuai dengan nama periodenya, masa ini sangat produktif dalam pengembangan seni teater. Selain teater, bermunculan pula sekolah teater seperti ATNI, STB, Teater Indonesia, HSBI, dan Teater Muslim. Pada periode ini, pertunjukannya sudah menggunakan lakon-lakon saduran seperti Hamlet. 8 Periode Kontemporer 1965-kini Periode ini dapat disebut juga periode pembebasan. Periode pembebasan ini dapat dilihat dari bentuk teater yang tersendiri tanpa terikat dari berbagai kaidah. Selain cerita yang ditulis sendiri, berbagai saduran dan terjemahan pun mulai banyak dipentaskan dengan bentuk yang bervariasi. Tentunya hal ini menambah semarak khazanah seni teater di Nusantara. Tokoh yang muncul dalam periode ini di antaranya Teguh Karya dengan grup teater Populer, Rendra dengan grup teater Rendra, N. Riantriarno dengan grup teater Koma, dan masih banyak lagi grup teater lainnya. Pada periode ini juga ditandai dengan banyaknya penulis cerita lakon yang berperan ganda sebagai sutradara.
Sejarah Perkembangan Teater Di Indonesia Berikut ini adalah sejarah perkembangan teater di Indonesia 1. Teater Tradisional Kasim Achmad dalam bukunya Mengenal Teater Tradisional di Indonesia 2006 mengatakan, sejarah teater tradisional di Indonesia dimulai sejak sebelum Zaman Hindu. Pada zaman itu, ada tanda-tanda bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk mendukung upacara ritual. Teater tradisional merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut “teater”, sebenarnya baru merupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan suatu bentuk kesatuan teater yang utuh. Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur-unsur teater tersebut membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat dalam masyarakat lingkungannya. Proses terjadinya atau munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi dari satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu berbedabeda, tergantung kondisi dan sikap budaya masyarakat, sumber dan tata-cara di mana teater tradisional lahir. Macammacam teater tradisional Indonesia adalah wayang kulit, wayang wong, ludruk , lenong, randai, drama gong, arja, ubrug, ketoprak, dan sebagainya. 2. Teater Transisi Modern Teater transisi adalah penamaan atas kelompok teater pada periode saat teater tradisional mulai mengalami perubahan karena pengaruh budaya lain. Kelompok teater yang masih tergolong kelompok teater tradisional dengan model garapan memasukkan unsur-unsur teknik teater Barat, dinamakan teater bangsawan. Perubahan tersebut terletak pada cerita yang sudah mulai ditulis, meskipun masih dalam wujud cerita ringkas atau outline story garis besar cerita per adegan. Cara penyajian cerita dengan menggunakan panggung dan dekorasi. Mulai memperhitungkan teknik yang mendukung pertunjukan. Pada periode transisi inilah teater tradisional berkenalan dengan teater non-tradisi. Selain pengaruh dari teater bangsawan, teater tradisional berkenalan juga dengan teater Barat yang dipentaskan oleh orang-orang Belanda di Indonesia sekitar tahun 1805 yang kemudian berkembang hingga di Betawi Batavia dan mengawali berdirinya gedung Schouwburg pada tahun 1821 Sekarang Gedung Kesenian Jakarta. Perkenalan masyarakat Indonesia pada teater non-tradisi dimulai sejak Agust Mahieu mendirikan Komedie Stamboel di Surabaya pada tahun 1891, yang pementasannya secara teknik telah banyak mengikuti budaya dan teater Barat Eropa, yang pada saat itu masih belum menggunakan naskah drama/lakon. Dilihat dari segi sastra, mulai mengenal sastra lakon dengan diperkenalkannya lakon yang pertama yang ditulis oleh orang Belanda yang berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno, pada tahun 1901. Kemudian disusul oleh Lauw Giok Lan lewat Karina Adinda, Lelakon Komedia Hindia Timoer 1913, dan lain-lainnya, yang menggunakan bahasa Melayu Rendah. Setelah Komedie Stamboel didirikan muncul kelompok sandiwara seperti Sandiwara Dardanella The Malay Opera Dardanella yang didirikan Willy Klimanoff alias A. Pedro pada tanggal 21 Juni 1926. Kemudian lahirlah kelompok sandiwara lain, seperti Opera Stambul, Komidi Bangsawan, Indra Bangsawan, Sandiwara Orion, Opera Abdoel Moeloek, Sandiwara Tjahaja Timoer, dan lain sebagainya. Pada masa teater transisi belum muncul istilah teater. Yang ada adalah sandiwara. Karenanya rombongan teater pada masa itu menggunakan nama sandiwara, sedangkan cerita yang disajikan dinamakan drama. Sampai pada Zaman Jepang dan permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan. 3. Teater Indonesia tahun 1920-an Teater pada masa kesusasteraaan angkatan Pujangga Baru kurang berarti jika dilihat dari konteks sejarah teater modern Indonesia tetapi cukup penting dilihat dari sudut kesusastraan. Naskah-naskah drama tersebut belum mencapai bentuk sebagai drama karena masih menekankan unsur sastra dan sulit untuk dipentaskan. Drama-drama Pujangga Baru ditulis sebagai ungkapan ketertekanan kaum intelektual dimasa itu karena penindasan pemerintahan Belanda yang amat keras terhadap kaum pergerakan sekitar tahun 1930-an. Bentuk sastra drama yang pertamakali menggunakan bahasa Indonesia dan disusun dengan model dialog antar tokoh dan berbentuk sajak adalah Bebasari artinya kebebasan yang sesungguhnya atau inti kebebasan karya Rustam Efendi 1926. Lakon Bebasari merupakan sastra drama yang menjadi pelopor semangat kebangsaan. Lakon ini menceritakan perjuangan tokoh utama Bujangga, yang membebaskan puteri Bebasari dari niat jahat Rahwana. Penulis lakon lainnya, yaitu Sanusi Pane menulis Kertajaya 1932 dan Sandyakalaning Majapahit 1933 Muhammad Yamin menulis Ken Arok dan Ken Dedes 1934. Armiijn Pane mengolah roman Swasta Setahun di Bedahulu karangan I Gusti Nyoman Panji Tisna menjadi naskah drama. Nur Sutan Iskandar menyadur karangan Molliere, dengan judul Si Bachil. Imam Supardi menulis drama dengan judul Keris Mpu Gandring. Dr. Satiman Wirjosandjojo menulis drama berjudul Nyai Blorong. Mr. Singgih menulis drama berjudul Hantu. Lakonlakon ini ditulis berdasarkan tema kebangsaan, persoalan, dan harapan serta misi mewujudkan Indonesia sebagai negara merdeka. Penulis-penulis ini adalah cendekiawan Indonesia, menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Bahkan Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno, pada tahun 1927 menulis dan menyutradarai teater di Bengkulu saat di pengasingan. Beberapa lakon yang ditulisnya antara lain, Rainbow, Krukut Bikutbi, dan Dr. Setan. 4. Teater Indonesia tahun 1940-an Semua unsur kesenian dan kebudayaan pada kurun waktu penjajahan Jepang dikonsentrasikan untuk mendukung pemerintahan totaliter Jepang. Segala daya kreasi seni secara sistematis di arahkan untuk menyukseskan pemerintahan totaliter Jepang. Namun demikian, dalam situasi yang sulit dan gawat serupa itu, dua orang tokoh, yaitu Anjar Asmara dan Kamajaya masih sempat berpikir bahwa perlu didirikan Pusat Kesenian Indonesia yang bertujuan menciptakan pembaharuan kesenian yang selaras dengan perkembangan zaman sebagai upaya untuk melahirkan kreasi – kreasi baru dalam wujud kesenian nasional Indonesia. Maka pada tanggal 6 oktober 1942, di rumah Bung Karno dibentuklah Badan Pusat Kesenian Indonesia dengan pengurus sebagai berikut, Sanusi Pane Ketua, Mr. Sumanang Sekretaris, dan sebagai anggota antara lain, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjabana, dan Kama Jaya. Badan Pusat Kesenian Indonesia bermaksud menciptakan kesenian Indonesia baru, di antaranya dengan jalan memperbaiki dan menyesuaikan kesenian daerah menuju kesenian Indonesia baru. Langkah-langkah yang telah diambil oleh Badan Pusat Kesenian Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemajuan kesenian Indonesia, ternyata mengalami hambatan yang datangnya dari barisan propaganda Jepang, yaitu Sendenbu yang membentuk badan perfilman dengan nama Djawa Eiga Kosy’, yang dipimpin oleh orang Jepang S. Oya. Intensitas kerja Djawa Eiga Kosya yang ingin menghambat langkah Badan Pusat Kesenian Indonesia nampak ketika mereka membuka sekolah tonil dan drama Putra Asia, Ratu Asia, Pendekar Asia, yang kesemuanya merupakan corong propaganda Jepang. Dalam masa pendudukan Jepang kelompok rombongan sandiwara yang mula-mula berkembang adalah rombongan sandiwara profesional. Dalam kurun waktu ini semua bentuk seni hiburan yang berbau Belanda lenyap karena pemerintah penjajahan Jepang anti budaya Barat. Rombongan sandiwara keliling komersial, seperti misalnya Bintang Surabaya, Dewi Mada, Mis Ribut, Mis Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna Sari, Mata Hari, Pancawarna, dan lain-lain kembali berkembang dengan mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia, Jawa, maupun Sunda. Rombongan sandiwara Bintang Surabaya tampil dengan aktor dan aktris kenamaan, antara lain Astaman, Tan Ceng Bok Si Item, Ali Yugo, Fifi Young, Dahlia, dan sebagainya. Pengarang Nyoo Cheong Seng, yang dikenal dengan nama samarannya Mon Siour D’amour ini dalam rombongan sandiwara Bintang Surabaya menulis lakon antara lain, Kris Bali, Bengawan Solo, Air Mata Ibu sudah difilmkan, Sija, Murdiati, dan Merah Delima. Rombongan Sandiwara Bintang Surabaya menyuguhkan pementasan-pementasan dramanya dengan cara lama seperti pada masa Dardanella, Komedi Bangsawan, dan Bolero, yaitu di antara satu dan lain babak diselingi oleh tarian-tarian, nyanyian, dan lawak. Secara istimewa selingannya kemudian ditambah dengan mode show, dengan peragawati gadis-gadis Indo Belanda yang cantik-cantik . Menyusul kemudian muncul rombongan sandiwara Dewi Mada, dengan bintang-bintang eks Bolero, yaitu Dewi Mada dengan suaminya Ferry Kok, yang sekaligus sebagai pemimpinnya. Rombongan sandiwara Dewi Mada lebih mengutamakan tari-tarian dalam pementasan teater mereka karena Dewi Mada adalah penari terkenal sejak masa rombongan sandiwara Bolero. Cerita yang dipentaskan antara lain, Ida Ayu, Ni Parini, dan Rencong Aceh. Hingga tahun 1943 rombongan sandiwara hanya dikelola pengusaha Cina atau dibiayai Sendenbu karena bisnis pertunjukan itu masih asing bagi para pengusaha Indonesia. Baru kemudian Muchsin sebagai pengusaha besar tertarik dan membiayai rombongan sandiwara Warna Sari. Keistimewaan rombongan sandiwara Warna Sari adalah penampilan musiknya yang mewah yang dipimpin oleh Garsia, seorang keturunan Filipina, yang terkenal sebagi Raja Drum. Garsia menempatkan deretan drumnya yang berbagai ukuran itu memenuhi lebih dari separuh panggung. Ia menabuh drum-drum tersebut sambil meloncat ke kanan – ke kiri sehingga menarik minat penonton. ceritacerita yang dipentaskan antara lain, Panggilan Tanah Air, Bulan Punama, Kusumahadi, Kembang Kaca, Dewi Rani, dan lain sebagainya. Rombongan sandiwara terkenal lainnya adalah rombongan sandiwara Sunda Mis Tjitjih, yaitu rombongan sandiwara yang digemari rakyat jelata. Dalam perjalanannya, rombongan sandiwara ini terpaksa berlindung di bawah barisan propaganda Jepang dan berganti nama menjadi rombongan sandiwara Tjahaya Asia yang mementaskan ceritacerita baru untuk kepentingan propaganda Jepang. Anjar Asmara, Ratna Asmara, dan Kama Jaya pada tanggal 6 April 1943, mendirikan rombongan sandiwara angkatan muda Matahari. Hanya kalangan terpelajar yang menyukai pertunjukan Matahari yang menampilakan hiburan berupa tari-tarian pada awal pertunjukan baru kemudian dihidangkan lakon sandiwara dari awal hingga akhir. Bentuk penyajian semacam ini di anggap kaku oleh penonton umum yang lebih suka unsur hiburan disajikan sebagai selingan babak satu dengan babak lain sehingga akhirnya dengan terpaksa rombongan sandiwara tersebut mengikuti selera penonton. Lakon-lakon yang ditulis Anjar Asmara antara lain, Musim Bunga di Slabintana, Nusa Penida, Pancaroba, Si Bongkok, Guna-guna, dan Jauh di Mata. Kama Jaya menulis lakon antara lain, Solo di Waktu Malam, Kupu-kupu, Sang Pek Engtay, Potong Padi. Dari semua lakon tersebut ada yang sudah di filmkan yaitu, Solo di Waktu Malam dan Nusa Penida. Pertumbuhan sandiwara profesional tidak luput dari perhatian Sendenbu. Jepang menugaskan Dr. Huyung Hei Natsu Eitaroo, ahli seni drama atas nama Sendenbu memprakarsai berdirinya POSD Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa yang beranggotakan semua rombongan sandiwara profesional. Sendenbu menyiapkan naskah lakon yang harus dimainkan oleh setiap rombongan sandiwara karangan penulis lakon Indonesia dan Jepang, Kotot Sukardi menulis lakon, Amat Heiho, Pecah Sebagai Ratna, Bende Mataram, Benteng Ngawi. Hei Natsu Eitaroo menulis Hantu, lakon Nora karya Henrik Ibsen diterjemahkan dan judulnya diganti dengan Jinak-jinak Merpati oleh Armijn Pane. Lakon Ibu Prajurit ditulis oleh Natsusaki Tani. Oleh karena ada sensor Sendenbu maka lakon harus ditulis lengkap berikut dialognya. Para pemain tidak boleh menambah atau melebih-lebihkan dari apa yang sudah ditulis dalam naskah. Sensor Sendenbu malah menjadi titik awal dikenalkannya naskah dalam setiap pementasan sandiwara. Menjelang akhir pendudukan Jepang muncul rombongan sandiwara yang melahirkan karya ssatra yang berarti, yaitu Penggemar Maya 1944 pimpinan Usmar Ismail, dan D. Djajakusuma dengan dukungan Suryo Sumanto, Rosihan Anwar, dan Abu Hanifah dengan para anggota cendekiawan muda, nasionalis dan para profesional dokter, apoteker, dan lain-lain. Kelompok ini berprinsip menegakkan nasionalisme, humanisme dan agama. Pada saat inilah pengembangan ke arah pencapaian teater nasional dilakukan. Teater tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga untuk ekspresi kebudayaan berdasarkan kesadaran nasional dengan cita-cita menuju humanisme dan religiositas dan memandang teater sebagai seni serius dan ilmu pengetahuan. Bahwa teori teater perlu dipelajari secara serius. Kelak, Penggemar Maya menjadi pemicu berdirinya Akademi Teater Nasional Indonesia di Jakarta. 5. Teater Indonesia Tahun 1950-an Setelah tokohg kemerdekaan, peluang terbuka bagi seniman untuk merenungkan perjuangan dalam tokohg kemerdekaan, juga sebaliknya, mereka merenungkan peristiwa tokohg kemerdekaan, kekecewaan, penderitaan, keberanian dan nilai kemanusiaan, pengkhianatan, kemunafikan, kepahlawanan dan tindakan pengecut, keiklasan sendiri dan pengorbanan, dan lain-lain. Peristiwa tokohg secara khas dilukiskan dalam lakon Fajar Sidik Emil Sanossa, 1955, Kapten Syaf Aoh Kartahadimaja, 1951, Pertahanan Akhir Sitor Situmorang, 1954, Titik-titik Hitam Nasyah Jamin, 1956 Sekelumit Nyanyian Sunda Nasyah Jamin, 1959. Sementara ada lakon yang bercerita tentang kekecewaan paska tokohg, seperti korupsi, oportunisme politis, erosi ideologi, kemiskinan, Islam dan Komunisme, melalaikan penderitaan korban tokohg, dan lain-lain. Tema itu terungkap dalam lakon-lakon seperti Awal dan Mira 1952, Sayang Ada Orang Lain 1953 karya Utuy Tatang Sontani, bahkan lakon adaptasi, Pakaian dan Kepalsuan oleh Akhdiat Kartamiharja 1956 berdasarkan The Man In Grey Suit karya Averchenko dan Hanya Satu Kali 1956, berdasarkan Justice karya John Galsworthy. Utuy Tatang Sontani dipandang sebagai tonggak penting menandai awal dari maraknya drama realis di Indonesia dengan lakonlakonnya yang sering menyiratkan dengan kuat alienasi sebagai ciri kehidupan moderen. Lakon Awal dan Mira 1952 tidak hanya terkenal di Indonesia, melainkan sampai ke Malaysia. Realisme konvensional dan naturalisme tampaknya menjadi pilihan generasi yang terbiasa dengan teater barat dan dipengaruhi oleh idiom Hendrik Ibsen dan Anton Chekhov. Kedua seniman teater Barat dengan idiom realisme konvensional ini menjadi tonggak didirikannya Akademi Teater Nasional Indonesia ATNI pada tahun 1955 oleh Usmar Ismail dan Asrul Sani. ATNI menggalakkan dan memapankan realisme dengan mementaskan lakon-lakon terjemahan dari Barat, seperti karyakarya Moliere, Gogol, dan Chekov. Sedangkan metode pementasan dan pemeranan yang dikembangkan oleh ATNI adalah Stanislavskian. Menurut Brandon 1997, ATNI inilah akademi teater modern yang pertama di Asia Tenggara. Alumni Akademi Teater Nasional yang menjadi aktor dan sutradara antara lain, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek Malyati, Pramana Padmadarmaya, Galib Husein, dan Kasim Achmad. Di Yogyakarta tahun 1955 Harymawan dan Sri Murtono mendirikan Akademi Seni Drama dan Film Indonesia ASDRAFI. Himpunan Seni Budaya Surakarta HBS didirikan di Surakarta. 6. Teater Indonesia Tahun 1970-an Jim Adi Limas mendirikan Studiklub Teater Bandung dan mulai mengadakan eksperimen dengan menggabungkan unsur-unsur teater etnis seperti gamelan, tari topeng Cirebon, longser, dan dagelan dengan teater Barat. Pada akhir 1950-an JIm Lim mulai dikenal oleh para aktor terbaik dan para sutradara realisme konvensional. Karya penyutradaraanya, yaitu Awal dan Mira Utuy T. Sontani dan Paman Vanya Anton Chekhov. Bermain dengan akting realistis dalam lakon The Glass Menagerie Tennesse William, 1962, The Bespoke Overcoat Wolf mankowitz . Pada tahun 1960, Jim Lim menyutradari Bung Besar, Misbach Yusa Biran dengan gaya longser, teater rakyat Sunda. Tahun 1962 Jim Lim menggabungkan unsur wayang kulit dan musik dalam karya penyutradaraannya yang berjudul Pangeran Geusan Ulun Saini KM., 1961. Mengadaptasi lakon Hamlet dan diubah judulnya menjadi Jaka Tumbal 1963/1964. Menyutradarai dengan gaya realistis tetapi isinya absurditas pada lakon Caligula Albert Camus, 1945, Badak-badak Ionesco, 1960, dan Biduanita Botak Ionesco, 1950. Pada tahun 1967 Jim Lim belajar teater dan menetap di Paris. Suyatna Anirun, salah satu aktor dan juga teman Jim Lim, melanjutkan apa yang sudah dilakukan Jim Lim yaitu mencampurkan unsurunsur teater Barat dengan teater etnis. Peristiwa penting dalam usaha membebaskan teater dari batasan realisme konvensional terjadi pada tahun 1967, Ketika Rendra kembali ke Indonesia. Rendra mendirikan Bengkel Teater Yogya yang kemudian menciptakan pertunjukan pendek improvisatoris yang tidak berdasarkan naskah jadi wellmade play seperti dalam drama-drama realisme. Akan tetapi, pertunjukan bermula dari improvisasi dan eksplorasi bahasa tubuh dan bebunyian mulut tertentu atas suatu tema yang diistilahkan dengan teater mini kata menggunakan kata seminimal mungkin. Pertunjukannya misalnya, Bib Bop dan Rambate Rate Rata 1967,1968. Didirikannya pusat kesenian Taman Ismail Marzuki oleh Ali Sadikin, gubernur DKI jakarta tahun1970, menjadi pemicu meningkatnya aktivitas, dan kreativitas berteater tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di kota besar seperti Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Padang, Palembang, Ujung Pandang, dan lain-lain. Taman Ismail Marzuki menerbitkan 67 enam puluh tujuh judul lakon yang ditulis oleh 17 tujuh belas pengarang sandiwara, menyelenggarakan festival pertunjukan secara teratur, juga lokakarya dan diskusi teater secara umum atau khusus. Tidak hanya Stanislavsky tetapi nama-nama seperti Brecht, Artaud dan Grotowsky juga diperbincangkan. Di Surabaya muncul bentuk pertunjukan teater yang mengacu teater epik Brecht dengan idiom teater rakyat kentrung dan ludruk melalui Basuki Rahmat, Akhudiat, Luthfi Rahman, Hasyim Amir Bengkel Muda Surabaya, Teater Lektur, Teater Melarat Malang. Di Yogyakarta Azwar AN mendirikan teater Alam. Mohammad Diponegoro dan Syubah Asa mendirikan Teater Muslim. Di Padang ada Wisran Hadi dengan teater Padang. Di Makasar, Rahman Arge dan Aspar Patturusi mendirikan Teater Makasar. Lalu Teater Nasional Medan didirikan oleh Djohan A Nasution dan Burhan Piliang. Tokoh-tokoh teater yang muncul tahun 1970-an lainnya adalah, Teguh Karya Teater Populer, D. Djajakusuma, Wahyu Sihombing, Pramana Padmodarmaya Teater Lembaga, Ikranegara Teater Saja, Danarto Teater Tanpa Penonton, Adi Kurdi Teater Hitam Putih. Arifin C. Noor Teater Kecil dengan gaya pementasan yang kaya irama dari blocking, musik, vokal, tata cahaya, kostum dan verbalisme naskah. Putu Wijaya teater Mandiri dengan ciri penampilan menggunakan kostum yang meriah dan vokal keras. Menampilkan manusia sebagai gerombolan dan aksi. Fokus tidak terletak pada aktor tetapi gerombolan yang menciptakan situasi dan aksi sehingga lebih dikenal sebagai teater teror. N. Riantiarno Teater Koma dengan ciri pertunjukan yang mengutamakan tata artistik glamor. 7. Teater Indonesia Tahun 1980 – 1990-an Tahun 1980-1990-an situasi politik Indonesia kian seragam melalui pembentukan lembaga-lembaga tunggal di tingkat nasional. Ditiadakannya kehidupan politik kampus sebagai akibat peristiwa Malari 1974. Dewan-dewan Mahasiswa ditiadakan. Dalam latar situasi seperti itu lahir beberapa kelompok teater yang sebagian merupakan produk festival teater. Di Jakarta dikenal dengan Festival Teater Jakarta sebelumnya disebut Festival Teater Remaja. Beberapa jenis festival di Yogyakarta, di antaranya Festival Seni Pertunjukan Rakyat yang diselenggarakan Departemen Penerangan Republik Indonesia 1983. Di Surabaya ada Festival Drama Lima Kota yang digagas oleh Luthfi Rahman, Kholiq Dimyati dan Mukid F. Pada saat itu lahirlah kelompok-kelompok teater baru di berbagai kota di Indonesia. Di Yogyakarta muncul Teater Dynasti, Teater Jeprik, Teater Tikar, Teater Shima, dan Teater Gandrik. Teater Gandrik menonjol dengan warna teater yang mengacu kepada roh teater tradisional kerakyatan dan menyusun berita-berita yang aktual di masyarakat menjadi bangunan cerita. Lakon yang dipentaskan antra lain, Pasar Seret, Meh, Kontrang- kantring, Dhemit, Upeti, Sinden, dan Orde Tabung. Di Solo Surakarta muncul Teater Gapit yang menggunakan bahasa Jawa dan latar cerita yang meniru lingkungan kehidupan rakyat pinggiran. Salah satu lakonnya berjudul Tuk. Di samping Gapit, di Solo ada juga Teater Gidaggidig. Di Bandung muncul Teater Bel, Teater Republik, dan Teater Payung Hitam. Di Tegal lahir teater RSPD. Festival Drama Lima Kota Surabaya memunculkan Teater Pavita, Teater Ragil, Teater Api, Teater Rajawali, Teater Institut, Teater Tobong, Teater Nol, Sanggar Suroboyo. Di Semarang muncul Teater Lingkar. Di Medan muncul Teater Que dan di Palembang muncul Teater Potlot. Dari Festival Teater Jakarta muncul kelompok teater seperti, Teater Sae yang berbeda sikap dalam menghadapi naskah yaitu posisinya sejajar dengan cara-cara pencapaian idiom akting melalui eksplorasi latihan. Ada pula Teater Luka, Teater Kubur, Teater Bandar Jakarta, Teater Kanvas, Teater Tetas selain teater Studio Oncor, dan Teater Kami yang lahir di luar produk festival Afrizal Malna,1999. Aktivitas teater terjadi juga di kampus-kampus perguruan tinggi. Salah satu teater kampus yang menonjol adalah teater Gadjah Mada dari Universitas Gadjah Mada UGM Yogyakarta. Jurusan teater dibuka di Institut Seni Indonesia ISI Yogyakarta pada tahun 1985. ISI menjadi satu-satunya perguruan tinggi seni yang memiliki program Strata 1 untuk bidang seni teater pada saat itu. Aktivitas teater kampus mampu menghidupkan dan membuka kemungkinan baru gagasan-gagasan artistik. 8. Teater Kontemporer Indonesia Teater Kontemporer Indonesia mengalami perkembangan yang sangat membanggakan. Sejak munculnya eksponen 70 dalam seni teater, kemungkinan ekspresi artistik dikembangkan dengan gaya khas masingmasing seniman. Gerakan ini terus berkembang sejak tahun 80- an sampai saat ini. Konsep dan gaya baru saling bermunculan. Meksipun seni teater konvensional tidak pernah mati tetapi teater eksperimental terus juga tumbuh. Semangat kolaboratif yang terkandung dalam seni teater dimanfaatkan secara optimal dengan menggandeng beragam unsur pertunjukan yang lain. Dengan demikian, wilayah jelajah ekspresi menjadi semakin luas dan kemungkinan bentuk garap semakin banyak.
kemunculan banyak naskah teater yaitu pada periode